BAB
IV
EPIGRAFI
DAN HISTORIOGRAGI INDONESIA
Buchari
Arkeolog,
Dinas Purbakala, Jakarta
Karya
N.J Krom yang berjudul Hindoe-Javaanesche Geschidenis yang diterbitkan pertama
kali pada tahun 1926 dan di revisi yang terbit pada tahun 1931dapat dianggap
sebagai satu-satunya buku referensi mengenai sejarah kuno Indonesia.
Kalau
isi buku Krom itu diteliti dapat dilihat bahwa kita dihadapkan pada sebuah
analisis yang berbeda sekali dari apa yang terdapat dalam buku sejarah
konvensional. Di dalamnya terdapat pembahasan tentang tafsiran sebuah kata
tertentu di dalam prasasti atau sumber sejarah lainnya yang selanjutnya oleh
Krom dipakai sebagai dasar untuk menarik kesimpulan-kesimpulan.
Istilah
Prasasti merujuk pada sumber-sumber sejarah zaman kuno yang ditulis di atas
batu atau logam. Prasasti kebanyakan dibuat atas perintah penguasa di berbagai
bagian Indonesia sejak abad ke-5. Sejumlah kecil prasasti merupakan keputusan
pengadilan yang biasanya dikenal dengan jayapatra.
Beberapa prasasti mengandung uraian panjang lebar, tetapi ada pula yang hanya
memuat tanggal atau nama seorang pejabat kerajaan tertentu. Prasasti pada zaman
Islam yang kebanyakan ditulis di atas batu nisan biasanya menyebutkan nama
orang yang di makamkan di tempat itu, keterangan tentang tanggal kematian dan
beberapa kutipan ayat Al-Quran.
Pemeliharaan,
pengawasan, dan penelitian sumber-sumber sejarah yang berupa prasasti menjadi
tugas Dinas Purbakala dan Peninggalan Nasional. Sebagai lembaga ilmiah, Dinas
Purbakala mempunyai bagian khusus yang menangani penelitian prasasti. Di bagain
tersebut terdapat hampir tiga ribu cetakan kertas dari prasasti batu dan logam
yang ditulis dalam bahasa Sansekerta, Melayu Kuno, Jawa Kuno, Bali Kuno dan
Arab.
Untuk
mempereoleh bayangan yang lebih baik tentang apa yang perlu dilakukan di bidang
epigrafi, studi tentang prasasti, sebaiknya kita memepelajari daftar prasasti
yang disusun oleh L. Ch. Damais yang diterbitkan tahun 1952. Dari 290 buah
prasasti yang berasal dari Sumatera, Jawa, Madura, dan Bali hanya 81 buah
prasasti yang telah di terbitkan tranksripsi dan terjemahannya secara
lengkapbeserta analisisnya.
Di
Indonesia seorang ahli epigrafi masih sedikit jumlahnya, mengingat masih
sedikit peminat terhaap pelajaran epigrafi. Tugas ahli Epigrafi sekarang ini
bukan hanya mempelajari prasasti-prasasti yang belum diterbitkan, tetapi juga
mengkaji kembali semua prasasti yang telah diterbitkan transkripsi
sementaranya, lalu menerjemahkan prasasti-prasasti itu kedalam bahasa modern
agar sarjana lain, terutam sejarawan, dapat memanfaatkan keterangan yang
terdapat di dalamnya.
Ada
beberapa kesulitan seorang ahli Epigrafi dalam menjalankan tugas tersebut
diantaranya : Pertama, Prasasti-prasastiitu banyak yang dalam keadaan rusak,
teruatam yang tertulis di atas batu, sehingga sulit membacanya. Prasasti yang
tertulis dalam bahasa Sansekerta ada kelebihannya karena ditulis dalam bentuk
matra yang memungkinkan ahli epigrafi untuk sering rmemakai aturan-aturan guru
lagu sebagi bantuan dalam menyusun pembacaan yang tepat dari bagian-bagian yang
menimbulkan masalah. Selanjutnya yaitu terjemahan naskah, pengetahuan tentang
bahasa-bahasa yang dipakai di dalam parasasti belum memadai untuk mengungkap
arti teks sepenuhnya.
Pada
umumnya prasasti dikeluarkan untuk memperingati penobatan suatu daerah sebagai
sima, yaitu daerah bebas pajak, sebagai anugerah raja kepada pejabat tertetu
yang telah berjasa kepada Negara, atau sebagai anugerah raja untuk pemeliharaan
banguan suci tertentu. Bagian yang memuat sumpah atau kutukan terhadap mereka
yang berani melanggar ketentuan-ketentuan dalam prasasti itu mengambil tempat
yang penting di dalam prasasti itu sendiri.
Tahun
dan bulan yang biasanya dimuat dengan lengkap dan tepat, yang diikuti nama sang
raja dan pegawai tinggi kerajaan, dapat memberikan kerangka kronologis untuk
penulisan sejarah. Berdasarkan keterangan boleh jadi dapat diperoleh
pengetahuan tentang berapa lama masa pemerintahan seorang raja, sementara
tempat prasasti itu ditemukan dapat memberikan bayangan tentang luas daerah
kekuasaan raja itu. Apabila suatu teori disusun berdasarkan tanggal yang dibaca
dengan salah hasilnya adalah kekacauan. Contohnya Prasasti di balik patung
Camundi di Ardimulyo (Singasari). Dibagian tanggal terdapat kerusakan semula
dibaca oleh Goris dan Stutterheim sebagai tahun 1254 Saka. Stutterheim
mengaitkan prasasti tersebut dengan ratu Tribhuwana dari Majapahit dan dengan
pertempuran-pertempuran di Sadeng dan Keta yang terjadi dibawah
pemerintahannya. Sedangkan Ganesha dan Bhairawa yang dilukiskan di sisi Camundi
di identifikasikan sebagai Gajah Mada dan Adityawarman. Selanjutnya bacaan
tersebut mempengaruhi sarjana-sarjana lain yang kemudian merumuskan teor-teori
mereka. Diantarany yaitu C.C Berg yang menulis tentang pertempuran Sadeng dan
mitos kejayaan Majapahit, sedangkan J.L Moens memakai keterangan tadi sebagai
dasar teorinya bahwa Tribhuwana melakukan bigamy dengan Cakreshwara, suaminya
yang digambarkan sebagai Bhairawa di sebelah kiri patung Camundi dan dengan
Gajah Mada yang digambarkan sebagai Ganesha di sebelah kanannya.
Kemudian
semua teori itu menjadi berantakan setelah Damais berhasil menetapkan bahwa
tanggal yang tepat adalah 1214 Shaka dan bahwa prasasti itu seharusnya
dikaitkan dengan Raja Kertanegara, dan prasasti tersebut tidak ada kaitannya
dengn pertempuran Sadeng karena bagian yang menurut rekonstruksi stutterheim
berbunyi mawuyung yi sa (deng)
seharusnya dibaca manuyuyi
sakala-dwipatara.
Yang
menari dalam Sejarah kuno Indonesia adalah dipakainya penanggalan yang bukan
Tarikh shaka dalam dua buah prasasti batu, yaitu Prasasti Taji dan GATAK.
Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Daksa memakai tarikh Sanjaya. Brandes
membaca angka di prasasti sebagai tahun 694 dan 693 Sanjayawarsa sedangkan
menurut pendapat R. Goris tanggalnya adalah 172 atau 174, dan 176 Sanjayawarsa.
Berdasarkan pembacaan Brandes Krom mengemukakan bahwa awal tarikh Sanjaya jatuh
antara tahun 217 dan 226 M, masa dimana Hindu sudah ada di Jawa. Goris
mengemukakan pendapat bahwa mungkin sekali zaman Sanjaya dimulai dengan
didirikannya sebuah lingga oleh Sanjaya pada tahun 654 shaka dan oleh karenanya
tahun-tahun 172/174 dan 176 Sanjayawarsa sama dengn tahun 904/906 dan 908 M.
Teori-teori
mengenai zaman Sanjaya ini akhirnya terbukti tidak benar ketika Damais
memberikan bukti meyakinkan bahwa tanggal-tanggal tersebut sama dengan 910 dan
913 M. Maka dari itu zaman Sanjaya dimulai pada tahun 717 M yang mungkin
merupaan saat terjadinya suatu peristiwa yang di anggap penting sekali dalam
kehidupan Sanjaya yang dianggap sebagai vamshakerta
oleh raja berikutya.
Setelah
menyebutkan tanggal-tanggal dan semua unsur penanggalan dengan lengkap,
prasasti biasanya menjelaskan bahwa waktu itu da perintah penguasa disanpaikan
kepada sekelompok pejabat tinggi yang melanjutkan perintah raja itu kepada
sekelompok pegawai yang rendah.dari keterangan-keterangan itu dapat ditarik
kesimpulan sementara bahwa sekurang-kurangnya ada dua golongan pegawai Negara.
Golongan pertama terdiri dari empat atau lima orang, yaitu rakryan mapatih I hini,, rakryan mapatih I halu, rakryan I wka, rakryan
bawang dan rakryan I sirikan. Golongan pegawai kedua dinamakan para tanda rakryan ring pakira-kiran.
Sesudah
tanggal dan daftar pegawai yang bersangkutan, terdapat keterangan mengenai
peristiwa yang diperingati di dalam prasasti itu, yaitu peristiwa pemberian
hak-hak sima kepada daerah tertentu.
Bagian
prasasti yang diawali dengan kata sambandhanya berisi keterangan-keterangan
berisi keterangan-keterangan sejarah yang dapat disusun menjadi cerita sejarah.
Didalam beberapa prasastibagian yang tidak ternilai harganya seperti prasasti
batu yang lebih dikenal dengan nama batu Calcutta dari Raja Erlangga yang
ditemukan di Gunung Penaggungan, lempengan tembaga dari Gunung Butak, dan
lempengan tembaga dari Raja Kertarajasa yang ditemukan di Gununga Penanggungan
dan bertanggal 1218 shaka.
Batu
Calcutta terdiri dari dua bagian yang pertama alam bahasa Jawa Kuno. Bagian
yang ditulis dalam bahasa Sansekerta terdiri dari daftar raja secara
kronologis, dilanjutkan dengan sebuah laporan mengenai kehancuran kerajaan dan
mengenai Erlangga yang terpaksa melarikan diri ke dalam hutan dengan disertai
oleh hambanya, Narottama. Bagian yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dan yang
disusun sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku untuk prasasti Jawa Kuno
berisi laapoan-laporan bahwa sang raja telah memberi hak-hak sima kepada dua
daerah yaitu Bareham dan Capuri untuk membangun sebuah banguan suci, dharma karsyan.
Lempengan
tembaga dari Gunung Butak yang bertanggal 1216 shaka memperingati anugerah raja
Kertarajasa Jama di yawardhana kepada rama di Kudadu dalam bentuk Desa Kudadu
yang ditarik dari penguasa dharmma di
Kleme dan diberi hak-hak sebagai daerah otonom yang diperuntukkan bagi rama di
Kudadu dan semua keturunannya. Lempengan tembaga dari Gunung Pananggungan yang
bertanggal 1218 shaka juga merupakan sebuah prasasti dri Kertarajasa
Jayawardhana. Prasasti itu memeperingati anugerah raja kepada Panji Patipati
mpu Kapat berupa Sukamerta, bagian dari daerah Pangkah.
Bagian-bagian
tersebut merupakan keterangan bersejarah yang penting yang tercantum dalam
bagian prasasti tentang sebab musabab mengapa seseorang mendapat anugerah dari
raja atau mengapa sebuah bangunan suci didirikan. Prasasti-prasasti lain juga
memuat keterangan bersejarah dibagian tersebut, namun umumnya agak kabur.
Prasasti balitung, yang bertanggal 827 Shaka, misalnya, menceritakan bahwa sang
raja memberikan anugerah kepada lima orang patih dari Mantyasih karena jasa
mereka dalam mencari orang untuk melakukan buathaji
(semacam kerja bakti).
Penulis
prasasti itu nyata benar tidak menulis untuk kita,orang zaman kini,pemberian
keterangan yang benar-benar jelas tidak dianggapnya sebagai hal penting, karena
bagi orang sezaman, sudah jelas perkawinan kerajaan yang mana yang dimaksudkan dalam
prasasti dan bahaya yang mana yang mengancam penduduk desa kuning. Sebuah
prasasti dari Raja Lokapala yang ditemukan di Gunung Kidul dan yang bertanggal
802 Shaka, berbeda dari prasasti –prasasti lain, karena sesgera sesudah tanggal
dan unsur-unsur penanggalannya, prasasti itu menyebutkan suatu peristiwa
bersejarah mengenai Rakryan Manak, yang diculik oleh adik laki-lakinya, Rakryan
Lan-dhayan , dn ditinggalkan di Tangar, dan kemudian bunuh diri dengan membakar
diri di Desa Taas.
Mengenai
Rakryan Lan-dhayan, satu-satunya keterangik dan yang kita peroleh ialah bahwa
ia adalah adalah adik dari Rakryan
Manak, sehingga berdasarkan dugaan tadi, ia seharusnya ipar laki-laki sang
raja. Masih banyak contoh lainnya, seperti sejumlah prasasti batu dari kerajaan
Kediri. Diantaranya adalah prasasti desa pikatan (Blitar), bertanggal 1108
Shaka. Dalam prasasti tersebut diperingati penetapan sebuah daerah menjadi
tanah sima, anugerah Raja Bameshwara
kepada rama dipadelegan karena telah
berbakti kepada sanr raja denagan mengorbankan jiwanya dimedan pertempuran.
Dengan
demikian, dapat dimengerti mengapa sejarah kuno Indonesia penuh dengan
bagian-bagian yang kurang jelas dan krang tegas. Selain dari itu, seperti telah
diajukan pada awal tulisan ini, tidak semua sumber sejarah yang berupa prasasti
telah diterbitkan dan diteliti. Dalam hal ini, perlu disebutkan
prasasti-prasasti dimakam-makam islam yang tertua. Karena itu, jelas bahwa
sebagian besar dari yang dikemukakan didalam buku-buku mengenai sejarah kuno
Indonesia sebenarnya masih merupakan dugaan, yang setiap saat dapat ditinggalkan
lantaran penemuan sumber-sumber sejarah baru atau interpretasi baru terhadap
sumber-sumber yang pernah dipakai.
Ada
contoh lain lagi, yaitu versi-versi tentang sanjaya, Rakai panangkaran, dan
para pengganti mereka sebagai para raja Dinasti Shailendra. Berkat penyelidikan
yang dilakukan J.Ph. Vogel, F.H van Naerssen, dan de Casparis, kini dapat
dinyatakan bahwa pada abad ke-8 dan ke-sesungguhnya ada dua dinasti di Jawa
Tengah, yang pertama dinasti Sanjaya yang memeluk agama siwa, yang kedua
dinasti Shailendra, yang memeluk agama Budha Mahayana.
III
Seorang
sejarawan tidak dapat mengharapkan bahwa semua prasasti memuat keterangan
lengkap seperti “batu Calcutta” atau prasasti dari Gunung Butak. Ia harus
membangun cerita sejarahnya dari sejumlah fakta yang tersebar dalam berbagai
prasasti, sebagaimana burung membangun sarangnya dengan menghubungkan beberapa
titik pada dahan-dahan yang terpisah-pisah. Dalam hal ini, prasasti memang
memberikan keterangan banyak, sekalipun ini merupakan hal yang mudah diabaikan
oleh sejarawan itu.
Dalam
bagian-bagian ini dapat diperoleh keterangan yang lebih terinci tentang
kedudukan sebuah sima. Antara lain, sima tidak boleh dikunjungi oleh manilala haji, yang sampai kini
dianggap sebagai “petugas pajak”. Dalam bagian-bagian tersebut mungkin kita
juga menemui keterangan mengenai pemberian hak-hak istimewa kepada mereka yang
telah mendapat anugerah saja. Sesudah itu disebutkan bermacam pegawai, mulai
dari pegawai tertinggi kerajaan sampai pegawai desa dan pegawai keagamaan yang
diperintahkan melakukan upacara penetapan tanah sima itu. Dibagian ini
mungkin terdapat pula keterangan tentang adanya pemain gamelan, penyanyi,
penari, pelawak dan sebagainya, yang ikut serta pada upacara penetapan itu.
Selanjutnya
ada bagian yang menggambarkan puncak upacara penetapan yang terdiri dari ucapan
kutukan oleh pegawai keagamaan yang khusus diberi tugas ini, dan yang dinamakan
sang (pamgat) makudur. Dalam beberapa prasasti sering dikatakan pula bahwa
sesajiannya adalah inmas (berupa
emas). Artinya, mungkin sekali orang yang berkepentingan tidak diharuskan
mempersiapkan segala macam sesajian itu, tetapi dapat memenuhi syarat dengan
membayar emas kepada sang makudur.
Sang makudur,
kemudian mengatur sesajian itu pada tempatnya masing-masing, dan mereka yang
ikut pada upacara itu makan bersama. Makanan yang disediakan juga sering
disebutkan didalam prasasti. Sesudah itu, Sang
makudur mulai mengucapkan kutukan-nya. Maksud dari kutukan itu adalah untuk
menghukum mereka yang berani melanggar ketentuan-ketentuan mengenai tanah sima sebagaimana tertera didalam
prasasti. Sering juga disebutkan mereka yang menjadi sasaran kutukan itu, yaitu
para raja berikutnya (sang anagata prabhu),
para pegawai negara dan orang lain. Kadangkala disebutkan pula orang-orang dari
keempat kasta india yang terkenal, brahmana,
Kshatriya, waishya dan Shudra.
Pada
akhirnya, sebagai penutup upacara dan sebagai lambang kenyataan penetapan tanah
sima itu (cihnanyan mapageh ikanang susukan sima), mereka yang ikut akan
“melipatgandakan daun mereka”. Prasasti-prasasti yang dikumpulkan dalam
golongan jayapattra berisi keterangan
yang berbeda sifatnya. Ada yang memuat keputusan yang mengenai perkara sewa
menyewa. Salah satu dari prasasti tersebut bertanggal 844 Shaka, sangat
menarik. Ini menyangkut kewarganegaraan seseorang.
IV
Seandainya
keterangan-keterangan ini diteliti dengan seksama, mungkin akan dihasilkan
pengertian yang menarik tentang sifat-sifat khusus dan struktur masyarakat,
agama, dan adat istiadat kuno Indonesia. Suatu persoalan penting yang menurut
penilaian penulis sebaiknya dipecahkan ialah sifat pemerintahan zaman kuno.
Setelah masalah ini diselesaikan, beberapa keterangan bersejarah mungkin akan
mendapat sorotan yang berbeda-beda. Misalnya, masalah mengenai sebab-musabab
pemindahan pusat kerajaan Medang dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada
pertengahan abad ke-9 tarikh Shaka, yang sekarang ini dianggap oleh para ahli
sebagai akibat persengketaan antara Shriwijaya dan Medang.
Jatuhnya
kerajaan Dharmmawangsha pada tahun 939 boleh jadi juga dapat dijelaskan dengan
cara lain. Sampai kini dikatakan bahwa Haji Wurawari yang menyerang
Dharmmawangsha dari Lwaram, yang menyebabakan keruntuhan Dharmmawangsha adalah
sekutu Shriwijaya dari Semenajung Malaka.
V
Dalam
alinea-alinea tersebut, dengan singkat penulis telah mencoba membicarakan
epigrafi dan mencoba memberikan usulan bagaimana epigrafi dapat membantu
historiografi Indonesia Kuno. Namun pembicaraan disini tidak akan lengkap jika
tidak disebutkan bahwa belum lama ini telah berkembang perdebatan hebat antara
beberapa orang ahli sejarah Indonesia. Gagasan pokok Berg bisa diterima, namun
masalahnya bagaimana mempratekkan gagasan itu? P.J Zoetmulder agaknya benar
ketika mengatakan bahwa mereka yang hidup dimasa kini tidak akan mungkin
menjadi “orang dalam” sepenuhnya, tidak akan memperoleh pemahaman yang lengkap
tentang unur-unsur yang tekandung didalam sumber-sumber sejarah itu.