Rabu, 10 September 2014

EPIGRAFI DAN HISTORIOGRAGI INDONESIA

BAB IV
EPIGRAFI DAN HISTORIOGRAGI INDONESIA
Buchari
Arkeolog, Dinas Purbakala, Jakarta
Karya N.J Krom yang berjudul Hindoe-Javaanesche Geschidenis yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1926 dan di revisi yang terbit pada tahun 1931dapat dianggap sebagai satu-satunya buku referensi mengenai sejarah kuno Indonesia.
Kalau isi buku Krom itu diteliti dapat dilihat bahwa kita dihadapkan pada sebuah analisis yang berbeda sekali dari apa yang terdapat dalam buku sejarah konvensional. Di dalamnya terdapat pembahasan tentang tafsiran sebuah kata tertentu di dalam prasasti atau sumber sejarah lainnya yang selanjutnya oleh Krom dipakai sebagai dasar untuk menarik kesimpulan-kesimpulan.
Istilah Prasasti merujuk pada sumber-sumber sejarah zaman kuno yang ditulis di atas batu atau logam. Prasasti kebanyakan dibuat atas perintah penguasa di berbagai bagian Indonesia sejak abad ke-5. Sejumlah kecil prasasti merupakan keputusan pengadilan yang biasanya dikenal dengan jayapatra. Beberapa prasasti mengandung uraian panjang lebar, tetapi ada pula yang hanya memuat tanggal atau nama seorang pejabat kerajaan tertentu. Prasasti pada zaman Islam yang kebanyakan ditulis di atas batu nisan biasanya menyebutkan nama orang yang di makamkan di tempat itu, keterangan tentang tanggal kematian dan beberapa kutipan ayat Al-Quran.
Pemeliharaan, pengawasan, dan penelitian sumber-sumber sejarah yang berupa prasasti menjadi tugas Dinas Purbakala dan Peninggalan Nasional. Sebagai lembaga ilmiah, Dinas Purbakala mempunyai bagian khusus yang menangani penelitian prasasti. Di bagain tersebut terdapat hampir tiga ribu cetakan kertas dari prasasti batu dan logam yang ditulis dalam bahasa Sansekerta, Melayu Kuno, Jawa Kuno, Bali Kuno dan Arab.
Untuk mempereoleh bayangan yang lebih baik tentang apa yang perlu dilakukan di bidang epigrafi, studi tentang prasasti, sebaiknya kita memepelajari daftar prasasti yang disusun oleh L. Ch. Damais yang diterbitkan tahun 1952. Dari 290 buah prasasti yang berasal dari Sumatera, Jawa, Madura, dan Bali hanya 81 buah prasasti yang telah di terbitkan tranksripsi dan terjemahannya secara lengkapbeserta analisisnya.
Di Indonesia seorang ahli epigrafi masih sedikit jumlahnya, mengingat masih sedikit peminat terhaap pelajaran epigrafi. Tugas ahli Epigrafi sekarang ini bukan hanya mempelajari prasasti-prasasti yang belum diterbitkan, tetapi juga mengkaji kembali semua prasasti yang telah diterbitkan transkripsi sementaranya, lalu menerjemahkan prasasti-prasasti itu kedalam bahasa modern agar sarjana lain, terutam sejarawan, dapat memanfaatkan keterangan yang terdapat di dalamnya.
Ada beberapa kesulitan seorang ahli Epigrafi dalam menjalankan tugas tersebut diantaranya : Pertama, Prasasti-prasastiitu banyak yang dalam keadaan rusak, teruatam yang tertulis di atas batu, sehingga sulit membacanya. Prasasti yang tertulis dalam bahasa Sansekerta ada kelebihannya karena ditulis dalam bentuk matra yang memungkinkan ahli epigrafi untuk sering rmemakai aturan-aturan guru lagu sebagi bantuan dalam menyusun pembacaan yang tepat dari bagian-bagian yang menimbulkan masalah. Selanjutnya yaitu terjemahan naskah, pengetahuan tentang bahasa-bahasa yang dipakai di dalam parasasti belum memadai untuk mengungkap arti teks sepenuhnya.
Pada umumnya prasasti dikeluarkan untuk memperingati penobatan suatu daerah sebagai sima, yaitu daerah bebas pajak, sebagai anugerah raja kepada pejabat tertetu yang telah berjasa kepada Negara, atau sebagai anugerah raja untuk pemeliharaan banguan suci tertentu. Bagian yang memuat sumpah atau kutukan terhadap mereka yang berani melanggar ketentuan-ketentuan dalam prasasti itu mengambil tempat yang penting di dalam prasasti itu sendiri.
Tahun dan bulan yang biasanya dimuat dengan lengkap dan tepat, yang diikuti nama sang raja dan pegawai tinggi kerajaan, dapat memberikan kerangka kronologis untuk penulisan sejarah. Berdasarkan keterangan boleh jadi dapat diperoleh pengetahuan tentang berapa lama masa pemerintahan seorang raja, sementara tempat prasasti itu ditemukan dapat memberikan bayangan tentang luas daerah kekuasaan raja itu. Apabila suatu teori disusun berdasarkan tanggal yang dibaca dengan salah hasilnya adalah kekacauan. Contohnya Prasasti di balik patung Camundi di Ardimulyo (Singasari). Dibagian tanggal terdapat kerusakan semula dibaca oleh Goris dan Stutterheim sebagai tahun 1254 Saka. Stutterheim mengaitkan prasasti tersebut dengan ratu Tribhuwana dari Majapahit dan dengan pertempuran-pertempuran di Sadeng dan Keta yang terjadi dibawah pemerintahannya. Sedangkan Ganesha dan Bhairawa yang dilukiskan di sisi Camundi di identifikasikan sebagai Gajah Mada dan Adityawarman. Selanjutnya bacaan tersebut mempengaruhi sarjana-sarjana lain yang kemudian merumuskan teor-teori mereka. Diantarany yaitu C.C Berg yang menulis tentang pertempuran Sadeng dan mitos kejayaan Majapahit, sedangkan J.L Moens memakai keterangan tadi sebagai dasar teorinya bahwa Tribhuwana melakukan bigamy dengan Cakreshwara, suaminya yang digambarkan sebagai Bhairawa di sebelah kiri patung Camundi dan dengan Gajah Mada yang digambarkan sebagai Ganesha di sebelah kanannya.
Kemudian semua teori itu menjadi berantakan setelah Damais berhasil menetapkan bahwa tanggal yang tepat adalah 1214 Shaka dan bahwa prasasti itu seharusnya dikaitkan dengan Raja Kertanegara, dan prasasti tersebut tidak ada kaitannya dengn pertempuran Sadeng karena bagian yang menurut rekonstruksi stutterheim berbunyi mawuyung yi sa (deng) seharusnya dibaca manuyuyi sakala-dwipatara.
Yang menari dalam Sejarah kuno Indonesia adalah dipakainya penanggalan yang bukan Tarikh shaka dalam dua buah prasasti batu, yaitu Prasasti Taji dan GATAK. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Daksa memakai tarikh Sanjaya. Brandes membaca angka di prasasti sebagai tahun 694 dan 693 Sanjayawarsa sedangkan menurut pendapat R. Goris tanggalnya adalah 172 atau 174, dan 176 Sanjayawarsa. Berdasarkan pembacaan Brandes Krom mengemukakan bahwa awal tarikh Sanjaya jatuh antara tahun 217 dan 226 M, masa dimana Hindu sudah ada di Jawa. Goris mengemukakan pendapat bahwa mungkin sekali zaman Sanjaya dimulai dengan didirikannya sebuah lingga oleh Sanjaya pada tahun 654 shaka dan oleh karenanya tahun-tahun 172/174 dan 176 Sanjayawarsa sama dengn tahun 904/906 dan 908 M.
Teori-teori mengenai zaman Sanjaya ini akhirnya terbukti tidak benar ketika Damais memberikan bukti meyakinkan bahwa tanggal-tanggal tersebut sama dengan 910 dan 913 M. Maka dari itu zaman Sanjaya dimulai pada tahun 717 M yang mungkin merupaan saat terjadinya suatu peristiwa yang di anggap penting sekali dalam kehidupan Sanjaya yang dianggap sebagai vamshakerta oleh raja berikutya.
Setelah menyebutkan tanggal-tanggal dan semua unsur penanggalan dengan lengkap, prasasti biasanya menjelaskan bahwa waktu itu da perintah penguasa disanpaikan kepada sekelompok pejabat tinggi yang melanjutkan perintah raja itu kepada sekelompok pegawai yang rendah.dari keterangan-keterangan itu dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa sekurang-kurangnya ada dua golongan pegawai Negara. Golongan pertama terdiri dari empat atau lima orang, yaitu rakryan mapatih I hini,, rakryan mapatih I halu, rakryan I wka, rakryan bawang dan rakryan I sirikan. Golongan pegawai kedua dinamakan para tanda rakryan ring pakira-kiran.
Sesudah tanggal dan daftar pegawai yang bersangkutan, terdapat keterangan mengenai peristiwa yang diperingati di dalam prasasti itu, yaitu peristiwa pemberian hak-hak sima kepada daerah tertentu.
Bagian prasasti yang diawali dengan kata sambandhanya berisi keterangan-keterangan berisi keterangan-keterangan sejarah yang dapat disusun menjadi cerita sejarah. Didalam beberapa prasastibagian yang tidak ternilai harganya seperti prasasti batu yang lebih dikenal dengan nama batu Calcutta dari Raja Erlangga yang ditemukan di Gunung Penaggungan, lempengan tembaga dari Gunung Butak, dan lempengan tembaga dari Raja Kertarajasa yang ditemukan di Gununga Penanggungan dan bertanggal 1218 shaka.
Batu Calcutta terdiri dari dua bagian yang pertama alam bahasa Jawa Kuno. Bagian yang ditulis dalam bahasa Sansekerta terdiri dari daftar raja secara kronologis, dilanjutkan dengan sebuah laporan mengenai kehancuran kerajaan dan mengenai Erlangga yang terpaksa melarikan diri ke dalam hutan dengan disertai oleh hambanya, Narottama. Bagian yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dan yang disusun sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku untuk prasasti Jawa Kuno berisi laapoan-laporan bahwa sang raja telah memberi hak-hak sima kepada dua daerah yaitu Bareham dan Capuri untuk membangun sebuah banguan suci, dharma karsyan.
Lempengan tembaga dari Gunung Butak yang bertanggal 1216 shaka memperingati anugerah raja Kertarajasa Jama di yawardhana kepada rama di Kudadu dalam bentuk Desa Kudadu yang ditarik dari penguasa dharmma di Kleme dan diberi hak-hak sebagai daerah otonom yang diperuntukkan bagi rama di Kudadu dan semua keturunannya. Lempengan tembaga dari Gunung Pananggungan yang bertanggal 1218 shaka juga merupakan sebuah prasasti dri Kertarajasa Jayawardhana. Prasasti itu memeperingati anugerah raja kepada Panji Patipati mpu Kapat berupa Sukamerta, bagian dari daerah Pangkah.
Bagian-bagian tersebut merupakan keterangan bersejarah yang penting yang tercantum dalam bagian prasasti tentang sebab musabab mengapa seseorang mendapat anugerah dari raja atau mengapa sebuah bangunan suci didirikan. Prasasti-prasasti lain juga memuat keterangan bersejarah dibagian tersebut, namun umumnya agak kabur. Prasasti balitung, yang bertanggal 827 Shaka, misalnya, menceritakan bahwa sang raja memberikan anugerah kepada lima orang patih dari Mantyasih karena jasa mereka dalam mencari orang untuk melakukan buathaji (semacam kerja bakti).
Penulis prasasti itu nyata benar tidak menulis untuk kita,orang zaman kini,pemberian keterangan yang benar-benar jelas tidak dianggapnya sebagai hal penting, karena bagi orang sezaman, sudah jelas perkawinan kerajaan yang mana yang dimaksudkan dalam prasasti dan bahaya yang mana yang mengancam penduduk desa kuning. Sebuah prasasti dari Raja Lokapala yang ditemukan di Gunung Kidul dan yang bertanggal 802 Shaka, berbeda dari prasasti –prasasti lain, karena sesgera sesudah tanggal dan unsur-unsur penanggalannya, prasasti itu menyebutkan suatu peristiwa bersejarah mengenai Rakryan Manak, yang diculik oleh adik laki-lakinya, Rakryan Lan-dhayan , dn ditinggalkan di Tangar, dan kemudian bunuh diri dengan membakar diri di Desa Taas.
Mengenai Rakryan Lan-dhayan, satu-satunya keterangik dan yang kita peroleh ialah bahwa ia adalah adalah adik dari  Rakryan Manak, sehingga berdasarkan dugaan tadi, ia seharusnya ipar laki-laki sang raja. Masih banyak contoh lainnya, seperti sejumlah prasasti batu dari kerajaan Kediri. Diantaranya adalah prasasti desa pikatan (Blitar), bertanggal 1108 Shaka. Dalam prasasti tersebut diperingati penetapan sebuah daerah menjadi tanah sima, anugerah Raja Bameshwara kepada rama dipadelegan karena telah berbakti kepada sanr raja denagan mengorbankan jiwanya dimedan pertempuran.
Dengan demikian, dapat dimengerti mengapa sejarah kuno Indonesia penuh dengan bagian-bagian yang kurang jelas dan krang tegas. Selain dari itu, seperti telah diajukan pada awal tulisan ini, tidak semua sumber sejarah yang berupa prasasti telah diterbitkan dan diteliti. Dalam hal ini, perlu disebutkan prasasti-prasasti dimakam-makam islam yang tertua. Karena itu, jelas bahwa sebagian besar dari yang dikemukakan didalam buku-buku mengenai sejarah kuno Indonesia sebenarnya masih merupakan dugaan, yang setiap saat dapat ditinggalkan lantaran penemuan sumber-sumber sejarah baru atau interpretasi baru terhadap sumber-sumber yang pernah dipakai.
Ada contoh lain lagi, yaitu versi-versi tentang sanjaya, Rakai panangkaran, dan para pengganti mereka sebagai para raja Dinasti Shailendra. Berkat penyelidikan yang dilakukan J.Ph. Vogel, F.H van Naerssen, dan de Casparis, kini dapat dinyatakan bahwa pada abad ke-8 dan ke-sesungguhnya ada dua dinasti di Jawa Tengah, yang pertama dinasti Sanjaya yang memeluk agama siwa, yang kedua dinasti Shailendra, yang memeluk agama Budha Mahayana.
III
Seorang sejarawan tidak dapat mengharapkan bahwa semua prasasti memuat keterangan lengkap seperti “batu Calcutta” atau prasasti dari Gunung Butak. Ia harus membangun cerita sejarahnya dari sejumlah fakta yang tersebar dalam berbagai prasasti, sebagaimana burung membangun sarangnya dengan menghubungkan beberapa titik pada dahan-dahan yang terpisah-pisah. Dalam hal ini, prasasti memang memberikan keterangan banyak, sekalipun ini merupakan hal yang mudah diabaikan oleh sejarawan itu.
Dalam bagian-bagian ini dapat diperoleh keterangan yang lebih terinci tentang kedudukan sebuah sima. Antara lain, sima tidak boleh dikunjungi oleh manilala  haji, yang sampai kini dianggap sebagai “petugas pajak”. Dalam bagian-bagian tersebut mungkin kita juga menemui keterangan mengenai pemberian hak-hak istimewa kepada mereka yang telah mendapat anugerah saja. Sesudah itu disebutkan bermacam pegawai, mulai dari pegawai tertinggi kerajaan sampai pegawai desa dan pegawai keagamaan yang diperintahkan melakukan upacara penetapan tanah sima itu.  Dibagian ini mungkin terdapat pula keterangan tentang adanya pemain gamelan, penyanyi, penari, pelawak dan sebagainya, yang ikut serta pada upacara penetapan itu.
Selanjutnya ada bagian yang menggambarkan puncak upacara penetapan yang terdiri dari ucapan kutukan oleh pegawai keagamaan yang khusus diberi tugas ini, dan yang dinamakan sang (pamgat) makudur. Dalam beberapa prasasti sering dikatakan pula bahwa sesajiannya adalah inmas (berupa emas). Artinya, mungkin sekali orang yang berkepentingan tidak diharuskan mempersiapkan segala macam sesajian itu, tetapi dapat memenuhi syarat dengan membayar emas kepada sang makudur.
Sang makudur, kemudian mengatur sesajian itu pada tempatnya masing-masing, dan mereka yang ikut pada upacara itu makan bersama. Makanan yang disediakan juga sering disebutkan didalam prasasti. Sesudah itu, Sang makudur mulai mengucapkan kutukan-nya. Maksud dari kutukan itu adalah untuk menghukum mereka yang berani melanggar ketentuan-ketentuan mengenai tanah sima sebagaimana tertera didalam prasasti. Sering juga disebutkan mereka yang menjadi sasaran kutukan itu, yaitu para raja berikutnya (sang anagata prabhu), para pegawai negara dan orang lain. Kadangkala disebutkan pula orang-orang dari keempat kasta india yang terkenal, brahmana, Kshatriya, waishya dan Shudra.
Pada akhirnya, sebagai penutup upacara dan sebagai lambang kenyataan penetapan tanah sima itu (cihnanyan mapageh ikanang susukan sima), mereka yang ikut akan “melipatgandakan daun mereka”. Prasasti-prasasti yang dikumpulkan dalam golongan jayapattra berisi keterangan yang berbeda sifatnya. Ada yang memuat keputusan yang mengenai perkara sewa menyewa. Salah satu dari prasasti tersebut bertanggal 844 Shaka, sangat menarik. Ini menyangkut kewarganegaraan seseorang.
IV
Seandainya keterangan-keterangan ini diteliti dengan seksama, mungkin akan dihasilkan pengertian yang menarik tentang sifat-sifat khusus dan struktur masyarakat, agama, dan adat istiadat kuno Indonesia. Suatu persoalan penting yang menurut penilaian penulis sebaiknya dipecahkan ialah sifat pemerintahan zaman kuno. Setelah masalah ini diselesaikan, beberapa keterangan bersejarah mungkin akan mendapat sorotan yang berbeda-beda. Misalnya, masalah mengenai sebab-musabab pemindahan pusat kerajaan Medang dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada pertengahan abad ke-9 tarikh Shaka, yang sekarang ini dianggap oleh para ahli sebagai akibat persengketaan antara Shriwijaya dan Medang.
Jatuhnya kerajaan Dharmmawangsha pada tahun 939 boleh jadi juga dapat dijelaskan dengan cara lain. Sampai kini dikatakan bahwa Haji Wurawari yang menyerang Dharmmawangsha dari Lwaram, yang menyebabakan keruntuhan Dharmmawangsha adalah sekutu Shriwijaya dari Semenajung Malaka.
V
Dalam alinea-alinea tersebut, dengan singkat penulis telah mencoba membicarakan epigrafi dan mencoba memberikan usulan bagaimana epigrafi dapat membantu historiografi Indonesia Kuno. Namun pembicaraan disini tidak akan lengkap jika tidak disebutkan bahwa belum lama ini telah berkembang perdebatan hebat antara beberapa orang ahli sejarah Indonesia. Gagasan pokok Berg bisa diterima, namun masalahnya bagaimana mempratekkan gagasan itu? P.J Zoetmulder agaknya benar ketika mengatakan bahwa mereka yang hidup dimasa kini tidak akan mungkin menjadi “orang dalam” sepenuhnya, tidak akan memperoleh pemahaman yang lengkap tentang unur-unsur yang tekandung didalam sumber-sumber sejarah itu.


Martin Luther King Jr. Pahlawan Diskriminasi Rasialisme


1.      Biografi Martin Luther King Jr
Lahir di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat pada 15 Januari 1929, Martin besar sebagai orang berpendidikan dan religius. Ayah Martin yang benama sama, adalah seorang pendeta di Atlanta. Martin Luther Sr. selalu mengajarkan agama Katolik pada Martin Junior dengan sangat disiplin. Tak heran Martin juga mengikuti jejak ayahnya pada saat besar. Adapun ibunya bernama Alberta Williams King.
Martin Luther King Jr. adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Ia memiliki seorang kakak perempuan bernama Willie Christine King dan seorang adik laki-laki bernama Alfred Daniel Williams King. Martin Luther King Jr. bernyanyi bersama paduan suara gerejanya pada tahun 1939 dalam rangka pemutaran perdana "Gone with the Wind" di Atlanta.
Semasa remaja, Martin Luther King Jr. disekolahkan di Booker T. Washington High School. Ia sangat cepat dewasa dan cerdas, sehingga kelas 9 dan 12 dilewatkannya begitu saja dan langsung ia masuk ke kampus Morehouse College saat usianya baru 15 tahun, tanpa perlu lulus SMA terlebih dahulu. Di tahun 1948, ia lulus dari Morehouse dengan gelar Sarjana Sosiologi. Lantas ia mendaftarkan diri ke Seminari Keagamaan Crozer di Chester, Pennsylvania. Dari sekolah keagamaan itu ia lulus dengan gelar sarjana Teologi di tahun 1951.
Dua tahun kemudian, tepatnya pada 18 Juni 1953, Martin Luther King Jr. menikahi Coretta Scott. Sebuah pernikahan sederhana dilakukan di rumah sang mempelai wanita di Heiberger, Alabama. Lantas keduanya dikaruniai 4 orang anak, Yolanda King, Martin Luther King III, Dexter Scott King, dan Bernice King. Martin Luther King Jr. menjadi pastur di gereja baptis Dexter Avenue di bilangan Montgomery, Alabama saat usianya 25 tahun pada tahun 1954. Lalu ia mulai melanjutkan pendidikannya ke jenjang doktoral di bidang teologi sistematis di Universitas Boston. Setelah lulus pada tahun 1955, diraihnya gelar Doktor di bidang Filosofi.

Akhir Hayat Martin Luther King Jr.
Setelah melakukan berbagai kampanye anti-rasisme selama lebih dari sepuluh tahun, Martin meninggal dengan tragis pada 1968. Ia ditembak mati setelah melakukan aksi di Memphis. Ia ditembak di kamar hotelnya.

2.      Konteks Sosial.
Konteks Sosialnya karena ada garis pemisah atau diskriminasi  Ras antara orang kulit putih dan orang kulit hitam di Amerika Serikat. Pada saat itu, Orang Kulit hitam  dianggap sebagai Warga Kelas Dua dari orang Kulit Putih dan Orang kulit putih memperlakukan orang berkulit hitam layaknya binatang. di jalan mereka diejek, di kendaraan umum pun mereka harus selalu mengalah kepada kaum kulit putih, di tempat umum, seperti restoran, sekolah, rumah sakit, bahkan di gereja, kaum kulit hitam selalu menjadi warga kelas dua. 
Barangsiapa yang melanggar aturan-aturan umum tersebut pasti akan berhadapan dengan polisi dan penjara. Di dalam gedung selalu terpampang tulisan, “Colored exit by rear door”, yang artinya kulit hitam lewat pintu belakang atau “For White Only”. Mereka menjadi sasaran pengejaran para polisi. “Habiskan saja orang-orang kulit hitam itu. Bunuh saja mereka,” begitulah yel-yel yang sering terdengar. Orang kulit putih menganggap orang kulit hitam tidak berharga.
Seiring dengan berjalannya waktu, sedikit demi sedikit, Martin mulai mengerti arti menjadi orang kulit hitam ketika di sekolah, ia membaca, “For White Only!” Tulisan itu sangat berkesan dan menjadi suatu perenungan panjang baginya. Haruskah orang kulit hitam menjadi warga kelas dua untuk selamanya.



3.      Pemikiran nya apa? Dan dipengaruhi Oleh Siapa?
Saat belajar Sosiologi, ia berkenalan dengan Pemikiran-pemikran Thoreau, Filsuf yang 80 tahun sebelumnya melakukan Civil Disobediance dengan menolak mematuhi hokum yang tidak adil. Pemikiran Filsuf itu tertanam dalam benaknya dan ia ingin meneruskan hal itu kepada bangsanya.
Dibesarkan di keluarga yang religius membuat Martin cukup kritis dengan keadaan sekitar. Pada saat ia menjadi Pastur di gereja Montgomery Atlanta, ia selalu mengajarkan bahwa semua manusia itu satu derajat. Martin sangat pandai dalam memberikan ucapan yang menyentuh ketika berpidato. Apa yang dia katakan selalu bisa menyentuh banyak orang. Salah satu pidatonya yang terkenal adalah "I Have A Dream". I Have A Dream diutarakan oleh Martin pada saat ia melakukan gerakan anti rasis pada 1963.
Pidato itu merupakan pidato yang dianggap paling menyentuh dari Martin Luther King. Bahkan, pidato ini masuk ke dalam sepuluh pidato terbaik yang pernah ada di dunia. Martin memang telah tiada. Tapi, semangatnya masih tetap hidup bersama orang-orang yang bermimpi, bahwa suatu saat seluruh umat manusia akan saling berpegangan tanpa merasa risih dan jijik.
Pemikiran dan gagasan-gagasannya tidak timbul begitu saja. Ia mendapat pengaruh dari beberapa orang tokoh dunia. Salah satunya adalah Howard Thurman, seorang pembela hak-hak sipil, agamawan, dan pendidik. Thurman adalah teman sekelas ayah Martin Luther King Jr. Semasa kecil, King dan teman-temannya menimba ilmu dari Thurman. Pekerjaannya sebagai misionaris membuatnya berkeliling dunia, bahkan ia sudah pernah bertemu dan berdiskusi dengan Mahatma Gandhi. Saat menjadi mahasiswa, Martin Luther King Jr. kerap kali mendatangi Thurman untuk berdiskusi dan menambah ilmunya.
Mahatma Gandhi merupakan salah satu tokoh yang menginspirasi Martin Luther King Jr. Ia bahkan pernah mengunjungi tempat kelahiran Gandhi di India pada tahun 1959. Perjalanannya ke India memengaruhi cara berpikir Martin Luther King Jr. Ia semakin memperdalam pemahamannya akan pembelaan diri tanpa melalui jalan kekerasan. Ia pun semakin mantap bersikap bahwa Amerika Serikat harus menegakkan hal-hak sipil rakyatnya. Segala hal yang dipikirkan dan direnungkannya ia tuangkan melalui beragam judul pidato dan ceramah yang menggugah pendengarnya.
4.      Pemikiran Martin Luther Jr Mempengaruhi Siapa?
Pemikiran Martin Luther Jr Mempengaruhi Malcolm X dan Muhammad Ali. Malcolm X turut memperjuangkan haknya sebagai manusia berkulit hitam. Malcolm X adalah seorang tokoh Muslim kulit hitam Amerika (Afro-Amerika). Ketokohannya dapat disandingkan dengan Dr Martin Luther King yang berjuang menghapus segala macam diskriminasi, yang menimpa kaum Afro-Amerika.
Malcolm X belajar dari Islam,  bahwa Islam tidak mengenal Perbedaan Warna Kulit Semua Orang dihadapan Tuhan adalah sama. Dan dia Ingin melihat semua warna kulit, dari seorang berambut pirang bermata biru sampai orang Afrika yang berkulit hitam, berinteraksi satu sama lain, membawanya untuk melihat Islam sebagai sarana untuk mengatasi masalah rasial.
Malcolm X menyebarkan visi antirasisme dan nilai-nilai Islam yang humanis, menggugah kalangan Afro-Amerika dan dunia. Banyak yang menaruh simpati padanya. Bahkan, berkat perjuangannya pula, banyak orang yang memeluk agama Islam. Salah satunya adalah Classius Clay Junior, seorang petinju kelas berat yang akhirnya berganti nama menjadi Muhammad Ali.
5.      Pendapat Martin Luther Jr Mengenai Rasialisme.
Pendapat Martin Mengenai Rasialisme adalah bahwa rasialisme harus dihilangkan. Pada saat ia menjadi Pastur di gereja Montgomery Atlanta, ia selalu mengajarkan bahwa semua manusia itu satu derajat. Martin juga menyuarakan impiannya akan suatu kehidupan tanpa diskriminasi, di mana setiap orang dari ras dan agama apa pun akan hidup berdampingan secara damai, mengalami persamaan hak dan keadilan.
Dalam gerakannya, Martin Luther berani terang-terangan memprotes tindakan-tindakan diskriminasi orang kulit hitam oleh pemerintah Amerika Serikat. Walaupun demikian, King tetap melaksanakan gerakan-gerakan tersebut tanpa kekerasan. Hal ini dikarenakan dia terinspirasi oleh ajaran Gandhi perihal “melawan tanpa kekerasan”. Melalui organisasi Southern Christian Leadership Conference (Konferensi Kepemimpinan Kristen Selatan) yang diketuainya, King berkampanye di kota-kota bagian selatan: Jackson, Selma, Meridian, dan Birmingham. Namun, pengaruhnya meluas lebih jauh ketika ia memimpin serangan-serangan terhadap ketidakadilan sosial di kota-kota bagian utara.

Sumber :
martin luther malcom x/Biografi Malcolm X - Tokoh Muslim Afrika Amerika   Kumpulan Biografi Tokoh Hebat Dunia.
martin luther malcom x/Malcolm X  Islam Tidak Mengenal Perbedaan Ras   Kisah Muallaf



Rabu, 21 November 2012


Zaman Pencerahan (Enlightment)
A. Pendahuluan
Filsafat Modern lahir melaui proses panjang yang berkesinambungan, dimulai dengan munculnya abad Renaissance atau zaman pencerahan. Renaissance dalam berbagai diskusi filsafat tidak pernah hilang dari pembicaraan. Karena memang keberadaannya telah membangun sebuah peradaban baru dunia filsafat. Dalam banyak bidang, renaissance telah menumbuhkan benih-benih kesadaran Eropa yang telah lama terkubur dalam bayang-bayang doktrin gereja.http://jumhur.web.id/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif
Lahirnya gerakan ini bermula dari kondisi waktu itu yang tidak memberi kebebasan bagi manusia mengaktualisasikan dirinya seperti berfikir. Galilei Galileo misalnya adalah filsuf yang merasakan betapa kebebasan manusia dibatasi. Hanya karena mengajukan pernyataan yang bertentangan dengan keyakinan gereja, Galilei Galileo meringkuk di penjara seumur hidup.
Zaman pencerahan telah membawa beberapa dampak positif maupun negative. Dengannya manusia mulai dapat mengaktualisasikan akalnya dan percaya akan nilai pribadinya. Namun disisi lain, renaissance telah mengaggungkan manusia melebihi keagungan Tuhannya. Sehingga harus disadari bahwa renaissance telah menyangsikan keberadaan Tuhan dan menganggap bahwa manusialah pusat dunia.
Maka di pembahasan kali ini, penulis ingin menyampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan zaman pencerahan yang mencakup pengertian, sejarah, maupun menifestasi-manifestasi utama yang ada didalamnya. Juga beberapa perbedaan yang menyatakan perbedaan antara renaissance dan zaman pencerahan atau auflarung.

B. Pengertian pokok
Secara etimologi, renaissance berarti “kelahiran kembali” atau “kebangkitan kembali”. Dalam bahasa Inggris renaissance, dari bahasa perancis re (lagi, kembali) naissance (kelahiran), sedangkan dalam bahasa latin nascentia, nascor, natus (kelahiran, lahir, dilahirkan), kelahiran kembali ini disebut juga dengan zaman pencerahan (Auflarung). Begitu juga pencerahan kembali mengandung arti “munculnya kesadaran baru manusia” terhadap dirinya (yang selama ini dikunkung oleh gereja). Manusia menyadari bahwa dialah yang menjadi pusat dunianya (vaber mundi) bukan lagi sebagai obyek dunianya (fitiator mundi).
Sedangkan istilah ini menunjukkan suatu gerakan yang meliputi suatu zaman dimana orang merasa dilahirkan kembali dalam keadaban. Di dalam kelahiran kembali itu orang kembali pada sumber-sumber yang murni bagi pengetahuan dan estetika. Zaman renesans juga berarti zaman yang menekankan otonomi dan kedaulatan manusia dalam berfikir, dalam mengadakan eksplorasi, eksperimen, dalam mengembangkan seni sastra dan ilmu pengetahuan di Eropa.

C. Sejarah Renaissance
Berkembangnya filsafat abad pertengahan di Eropa yang ditandai dengan munculnya filsafat baru skolastik mengalami krisis pada abad 14 dan berlangsung hingga abad ke-15. Sehingga pada abad ke-16 dan ke-17, Eropa dikuasai oleh suatu gerakan yang disebut renaissance.
Secara hierarki, awal gerakan pembaharuan dibidang kerohanian, kemasyarakatan dan kegerejaan telah diterapkan pada periode waktu di Eropa Barat yang merentang pada abad ke-15 dan abad ke-16, istilah gerakan pembaharuan atau yang lebih dikenal dengan nama renaissance ini kemudian muncul kembali setelah Michelet pada tahun 1855 dan Buckhardt pada tahun 1860 menggunakan istilah ini dalam judul karya-karya sejarah tentang perancis dan Italia. Periode ini kemudian dipandang sebagai kelahiran kembali semangat Yunani dan Romawi, dan kebangkitan kembali belajar ilmiah. Gerakan pembaharuan ini dilakukan oleh orang humanis Italia.
Gerakan para humanis Italia ini memiliki tujuan utama untuk merealisasikan kesempurnaan pandangan hidup Kristiani, yang dilaksanakan dengan mengaitkan hikmat kuna (klasik) dengan wahyu, dan dengan memberi kepastian kepada gereja bahwa pikiran-pikiran klasik (pemikiran dari sumber-sumber yunani dan romawi) itu tidak bisa binasa. Dengan memanfaatkan kebudayaan dan bahasa klasik itu mereka bermaksud mempersatukan gereja yang telah dipecah-pecah oleh banyak madzhab dan mempertigggi keadaan yang telah diberikan oleh agama Kristen.
Sehingga dari sini, mereka dapat meningkatkan perkembangan yang harmonis dari sifat-sifat dan kecakapan-kecakapan alamiah manusia dengan mengusahakan adanya kepustakaan yang baik dengan mengikuti jejak kebudayaan klasik yang telah mereka pelajari pada abad pertengahan. Pada umumnya mereka tidak menyangkal adanya Kuasa yang Lebih Tinggi. Hanya mereka berpendapat, bahwa hal-hal yang alamiah pada dirinya sendiri telah memiliki nilai cukup untuk dijadikan sasaran pengenalan dan pengusahaan manusia. Baru pada zaman yang lebih kemudian di Jerman timbul orang-orang humanis yang melepaskan segala tujuan yang diarahkan kepada akhirat dan menerima hidup di dalam batas-batas dunia seperti apa adanya.

D. Signifikansi Renaissance
Renaissance sebagai gerakan yang identik dengan gerakan humanisme dan bertitik tolak pada upaya melepaskan manusia dari keterkaitan agama, memiliki manifestasi utama dalam gerakannya, yaitu :
  1. Gerakan Humanisme berusaha tidak hanya untuk menerjemahkan sumber-sumber Yunani dan Romawi, tetapi juga mencari nilai atau gaya hidup manusia yang terkandung di dalamnya.
  2. Penolakan tradisi Aristotelian Abad Pertengahan. Kebangkitan Platonisme, yang sangat bergaung dalam Akademi Florentina merupakan suatu konsekuensi penolakan ini. Selain itu, perhatian kepada mistisisme merebak kembali, termasuk minat kepada Cabala, tulisan hermetik  dan alkimia.
  3. Pemikiran Renaissance juga terbuka pada ilmu-ilmu baru yang mulai terbentuk.
  4. Dalam lapisan agama periode ini ditandai oleh ketidakpuasan dengan kemapanan yang mengarah para reformasi protestan.
Disisi lain, filsafat abad pertengahan memiliki perbedaan yang jelas dibandingkan filsafat renaissance. Yang pertama lebih mencurahkan perhatiannya kepada hal-hal yang abstrak dan kepada pengertian-pengertian, hal-hal yang konkrit, yang nampak, terlalu diabaikan. Sedangkan filsafat renaissance lebih tertuju kepada hal-hal yang konkrit seperti kepada alam semesta dan kepada manusia juga kepada kehidupa bermasyarakat serta sejarah. Dapat juga dikatakan bahwa manusia pada saat itu menemukan dua hal yaitu dunia dan dirinya sendiri. Dimana pengenalan akan dirinya sendiri terbentuk atas kesadaran manusia akan nilai pribadinya dan akan kekuatan pribadinya itu.
Namun dalam banyak hal, manusia justru mengaggungkan dirinya dan menganggap bahwa akal mempunyai wibawa terhadap kebenaran-kebenaran keagamaan, bahwa kebenaran harus dicapai dengan kekuatan sendiri. Hingga lambat laun filsafat terasing daripada agama yang positif. Filsafat bersifat individualis dan titik tolaknya adalah kebebasan mutlak bagi pemikiran dan penelitian, bebas daripada tiap wibawa dan tradisi -dalam hal ini tradisi kristen- yang mana disebutkan bahwa pengetahuan yang pasti bukan didapat dari pewarisan, melainkan apa yang diperoleh manusia sendiri karena kekuatannya sendiri dengan penelitian dan penemuan-penemuannya.

E. Zaman Pencerahan (Auflarung)
Dalam kesempatan kali ini, penulis sedikit memberikan porsi khusus untuk pembahasan auflarung yang mana hal ini berangkat dari beberapa literatur yang memberikan distorsi khusus antara renaissance dan zaman pencerahan (auflarung, enlighment). Sebenarnya tidak ada dikotomi antara renaissance dan enlighment dalam konteks pemikirannya. Begitupula zaman pencerahan memang memiliki akar yang saling bertautan dengan renaissance sebagai awal kesadaran manusia, apabila periode renaissance dimulai pada abad ke-16 dan ke-17, maka zaman pencerahan dimulai pada abad ke-18. Hanya saja zaman pencerahan lebih dapat berpikir kritis terhadap hal-hal yang dianggap tidak masuk akal.
Manurut Imannuel Kant zaman pencerahan adalah zaman manusia keluar dari keadaan tidak akil balik, yang disebabkan karena kesalahan manusia sendiri. Kesalahan inipun disebabkan karena manusia tidak mau memanfaatkan akalnya. Sedangkan Voltaire menyebutkan bahwa zaman pencerahan adalah ”zaman akal”. Umat manusia telah merasa bebas, merdeka dan tidak lagi memerlukan tiap kuasa yang datang dari luar dirinya.
Point penting yang membedakan abad ke-17 dan abad ke-18 adalah bahwasanya abad ke-17 membatasi diri pada usaha memberikan tafsiran baru terhadap kenyataan bendawi dan rohani, yaitu kenyataan yang mengenai manusia, dunia dan Tuhan. Sedangkan pada abad ke-18 menganggap dirinya sebagai yang mendapat tugas untuk meneliti secara kritis (sesuai dengan kaidah-kaidah yang diberikan akal) segala yang baik dalam segala bidang.
Disisi lain, dahulu filsafat mewujudkan suatu pemikiran yang menjadi hal istimewa beberapa ahli saja, tetapi pada masa pencerahan umat manusia berhak turut menikmati hasil-hasil pemikiran filsafat dan juga menjadi tugas filsafat untuk membebaskan khalayak ramai dari kuasa gereja dan iman kepercayaan yang berdasarkan wahyu. Begitupula sikap pencerahan terhadap wahyu pada umumnya dapat dikatakan memusuhi atau setidak-tidaknya mencurigainya. Sikap itu diungkapkan dalam usaha orang untuk mengganti agama kristen dengan agama alamiah murni yang isinya dikembalikan kepada beberapa kebenaran tentang Allah dan jiwa yang dapat dimengerti akal. Sedangkan sikap pencerahan terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat adalah bahwasanya mereka membuang jauh-jauh ajaran Descartes, Keterangannya tentang alam dipandang sebagai tidak mencukupi lagi.

F. Kesimpulan
Zaman pencerahan telah memberikan konstribusi nyata terhadap perkembangan khazanah keilmuan, baik ilmu alam maupun ilmu sosial. Bukan hanya itu saja, kehidupan sosial kemasyarakatan pun mengalami kemajuan yang disebabkan adanya penemuan-penemuan baru di dunia pengetahuan. Namun dilihat dari sisi yang lain, zaman pencerahan telah menyebarkan dampak yang sangat negatif yang menghilangkan kepercayaan manusia terhadap eksistensi Tuhan. Dan menuhankan akal manusia sebagai sumber utama kekuatan di dunia.